Degung atau Gamelan merupakan sekelompok waditra
dengan cara membunyikan alatnya kebanyakan dipukul. Istilah “degung” memiliki
dua pengertian:
1 . Degung sebagai nama seperangkat gamelan yang digunakan
oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki
karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis
instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya;
2 . Degung sebagai nama laras(tangga nada) yang
merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori
R. Machjar Angga Koesoemahdinata.
Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara(tumbuk nada mi (2)
dan la (5)) dan degung triswara (tumbuk
nada da (1), na (3), dan ti(4)). Karena perbedaan
inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas
masyarakat Sunda.
Pada mulanya Degung berupa nama waditra berbentuk 6 buah
gong kecil, biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini
biasa disebut pula “bende renteng” atau “jenglong gayor”.
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil
kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang
dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal
abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya
Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5
perangkat),Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1
perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1
perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1
perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang
terletak di hulu sungai, Yaitu Kerajaan Galuh misalnya, memiliki
pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang
banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat
Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung
merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa,
yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung”
(megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung
pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat
bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan
kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung
(bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879,
yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa
Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang
digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton
Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu
Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata
(Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791--1828).
Gamelan Degung sendiri terdiri atas tujuh waditra pokok,
yaitu:
1 . Bonang
2 . Saron Panerus (Penerus)
3 . Saron Cempres
4 . Jenglong
5 . Goong
6 . Kendang dan Kulanter
7 . Suling Degung (lubang 4)
Istilah waditra khususnya dalam degung dan umumnya dalam
Karawitan Sunda adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan alat-alat yang
digunakan dalam kegiatan berkesenian. Istilah dalam musik “instrumen”.
a. Bonang, terdiri dari 14 penclon
dalam ancaknya. Berderet mulai dari nada mi alit sampai nada La
ageng
b. Saron/Cempres, terdiri dari 14
wilah. Berderet dari nada mi alit sampai dengan La rendah.
c. Panerus, bentuk dan jumlah nada
sama dengan saron/cempres, hanya berbeda dalam oktafnya.
d. Jengglong terdiri dari enam
buah. Penempatannya ada yang digantung dan ada pula yang disimpan seperti
penempatan kenong pada gamelan pelog.
e. Suling, suling yang dipergunakan
biasanya suling berlubang empat.
f. Kendang, terdiri dari
satu buah kendang besar dan dua buah kendang kecil (kulanter). Teknis pukulan
kendang asalnya dipukul/ditakol dengan mempergunakan pemukul. Dalam
perkembangannya sekarang kendang pada gamelan degung sama saja dengan kendang
pada gamelan salendro-pelog.
g. Gong, pada mulanya hanya satu gong
besar saja, kemudian sekarang memakai kempul, seperti yang digunakan pada
gamelan pelog-salendro.
Keseluruhan waditra tersebut, kecuali suling,
dimainkan dengan cara dipukul, sedangkan suling dimainkan dengan cara ditiup.
Sedangkan tahun 1964, waditra gamelan degung mengalami penambahan, yaitu
dilengkapi dengan waditra Gambang, sau buah Saron dan kadang-kadang Rebab.Para
tokoh seniman penggarap degung diantaranya: Mang Oyo, Mang Idi, Mang Tarya, E
Carmedi, Sukanda art, Kusstiara, dll.
Fungsi Waditra
Untuk mengetahui fungsi waditra dalam gamelan degung, harus
dibagi dahulu bentuk lagu yang dibawakan. Bentuk lagu yang terdapat pada
gamelan degung terdiri dari dua bagian besar, yaitu: Lagu-lagu Kemprangan dan Lagu-lagu
Gumekan .
Lagu kemprangan tiada bedanya dengan bentuk Rerenggongan
pada gamelan salendro. Biasanya lagu yang dibawakan berirama satu wilet atau
keringan, misalnya lagu Jipang Lontang, Gambir Sawit, Kulu-Kulu, catrik dan
lain-lain. Pada dasarnya posisi tabuh sama dengan posisi pada gamelan salendro.
Fungsi waditra pada lagu kemprangan ini adalah sebagai
berikut:
· Jengglong =
balunganing gending
· Suling
= pembawa melodi
· Kendang
= pengatur irama
· Saron
= lilitan melodi
· Bonang
= lilitan balunganing gending
· Gong
= paganteb wilet
Gumekan sebenarnya nama teknis tabuhan, tetapi di sini bisa
diartikan pula sebagai bentuk lagu degung yang khas dalam lagu-lagu ageng.
Fungsi waditra pada gumekan sangat berbeda sekali dengan gending-gending
lainnya, terutama dalam pembawa melodi lagu.
Fungsi waditra dalam lagu/gending ageng tabuh gumekan:
· Bonang
= pembawa melodi
· Suling
= lilitan melodi
· Saron/Cempres
= lilitan melodi
· Panerus
= cantus firmus
· Jengglong
= balunganing gending
· Gong
= panganteb wiletan
Teknik/Motif Tabuhan pada Gamelan Degung
Waditra Bonang baik pada lagu-lagu bentuk kemprangan maupun
bentuk “Gumekan” memerlukan kedua belah tangan yang dalam menabuhnya antara
tangan kanan dan kiri ada yang bersamaan baik swarantara gembyang, kempyung dan
Adu laras, bergantian (Sunda, Patembalan) sesuai notasi.
Untuk waditra berwilah pada Degung diperlukan teknik
tengkepan yaitu tangan yang satu memukul tepat ditengah wilah panakol tegak dan
tangan lainnya “nengkep” (memegang waditra untuk mengurangi efek tabuhan
sehingga gelombang nadanya tidak menjadi panjang). Sedangkan waditra Jengglong
yang menggunakan dua buah pemukul mempunyai ketentuan yaitu tangan kanan untuk
nada: 1, 3, 5 alit dan tangan kiri untuk nada: 1, 4, 5
Waditra Kendang dan Suling disesuaikan dengan teknik
masing-masing waditra dan kebutuhan.
Kemprangan
Kemprangan adalah cara membunyikan bonang antara tangan kiri
dan kanan berjarak satu gembyang, nada gembyang ditabuh bersahut-sahutan.
Nama-nama Gending Degung
Gending-gending degung kemprangan dalam beberapa hal tidak
ada bedanya dengan gamelan salendro, tetapi mempunyai kekhususan tertentu dalam
lagunya, yaitu lagu-lagu yang jarang dipergunakan dalam gamelan salendro.
Lagu-lagunya antara lain; Jipang Lontang, Jipang Prawa, Catrik, Gambir
Sawit, Kulu-Kulu, Puspajala, Kunang-Kunang, Paron, dan lain-lain.
Dalam bentuk gumekan, lagu-lagunya antara lain: Palwa,
Manintin, Sang bango, ladrak, Lalayaran, Ayun Ambing, Sunda Mekar, Kadewan,
Pajajaran dan sebagainya.
Pada awalnya musik ini untuk acara keagamaan, tetapi
sekarang digunakan untuk mengiringi sendratari, mengiringi gending karesmen
(nyanyian resmi), dan sarana hiburan. Keberadaannya telah di kenal sejak zaman
Pakuan Pajajaran.
Di kutip : Dari Berbagai sumbaer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar