Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh
sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan
leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda.
Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian mengenai kehidupan masyarakat
pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di
Jawa Barat. Kampung
Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari, di sini masyarakatnya
masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari
pihak luar karena hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Kampung ini berada di lembah yang subur,
dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat
karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga.
Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan
Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung
Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga
kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer.
Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni
tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan
kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Dan secara administratif Kampung
naga berada di wilayah Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.Bentuk
permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah
bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar
setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan
selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
Bentuk
rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu.
Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus
terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau
ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari
bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali
dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu
membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah
tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat
tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena
menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui
pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang
daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam
satu garis lurus.
Sejarah kampung naga
Kampung Naga merupakan sebuah
kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi
nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu
mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Namun, asal mula kampung
ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan
siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan
budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah
kampungnya dengan istilah "Pareum Obor". Pareum jika diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti
penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya
penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu sendiri. Mereka
tidak mengetahui asal usul kampungnya. Masyarakat kampung naga menceritakan
bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/ sejarah mereka pada saat
pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo. Pada saat itu,
DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang
saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi
tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung
Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.
Adapun
beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber diantaranya, pada
masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya
yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah
Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut,
Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana.
Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam
persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu
tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga
sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut, sebab karena adanya
"pareumeun obor" tadi.
Penduduk
Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana
masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan
kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama
Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama
Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat
patuh pada warisan nenek moyang. Umpanya sembahyang lima waktu: Subuh, Duhur,
Asyar, Mahrib, dan salat Isa, hanya dilakukan pada hari Jumat. Pada hari-hari
lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu. Pengajaran mengaji bagi
anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis,
sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam
menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak
perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan
upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji ( idul
adha )yaitu tanggal 10 Rayagung (Dzulhijah). Upacara Hajat Sasih ini menurut
kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha Dan Idul
Fitri.
Menurut
kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan
nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang
datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak
dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut
dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak
menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Kepercayaan
masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig
cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian
sungai yang dalam ("leuwi"). Kemudian "ririwa" yaitu
mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam
hari, ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu
mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka
mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat
yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung
Naga disebut sebagai tempat yang angker atausanget. Demikian juga
tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi
ageung dan Mesjid (MASJID dalam Bahasa Sunda ) merupakan tempat
yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.
Tabu,
pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan
patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan
aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang
tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang.
Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian
upacara, kesenian, dan sebagainya.
Di
bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu
mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang
golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra
goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung
Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Adapu pantangan atau tabu
yang lainnya yaitu pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Masyarakat kampung Naga
dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal usul kampung Naga. Masyarakat
Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal
bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di Tasikmalaya ada sebuah tempat
yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut
Galunggung, karena kata Singaparna berdekatan dengan Singaparna nama
leluhur masyarakat Kampung Naga.
Sistem
kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan
bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan
kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah
bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air
mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara
perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami
oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu
tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah
sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan
"sasajen" (sesaji).
Kepercayaan
masyarakat Kampung Naga terhadap waktu terwujud pada kepercayaan mereka akan
apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang
dianggap buruk, pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat.
Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan
jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Rhamadhan. Pada bulan-bulan tersebut
dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara
menyepi. Selain itu perhitungan menentukan hari baik didasarkan pada hari-hari
naas yang ada dalam setiap bulannya, seperti yang tercantum dibawah ini:
1.
Muharam (Muharram) hari
Sabtu-Minggu tanggal 11,14
2.
Sapar (Safar) hari
Sabtu-Minggu tanggal 1,20
3.
Maulud hari (Rabiul
Tsani)Sabtu-Minggu tanggal 1,15
4.
Silih Mulud (Rabi'ul
Tsani) hari Senin-Selasa tanggal 10,14
5.
Jumalid Awal (Jumadil
Awwal)hari Senin-Selasa tanggal 10,20
6.
Jumalid Akhir (Jumadil
Tsani)hari Senin-Selasa tanggal 10,14
7.
Rajab hari (Rajab)
Rabu-Kamis tanggal 12,13
8.
Rewah hari (Sya'ban)
Rabu-Kamis tanggal 19,20
9.
Puasa/Ramadhan
(Ramadhan)hari Rabu-Kamis tanggal 9,11
10.
Syawal (Syawal) hari
Jumat tanggal 10,11
11.
Hapit (Dzulqaidah) hari
Jumat tanggal 2,12
12.
Rayagung (Dzulhijjah)
hari Jumat tanggal 6,20
Pada
hari-hari dan tanggal-tanggal tersebut tabu menyelenggarakan pesta atau
upacara-upacara perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh
dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi.
Selain perhitungan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan
seperti upacara perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain,
didasarkan pada hari-hari naas yang terdapat pada setiap bulannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar